Langsung ke konten utama

Bongkar Pasang IUD dengan Bius Total/Anestesi-IUDPart2



• seri lUD

Bongkar Pasang IUD dengan Bius Total/Anestesi

#IUDpart2

Sebelumnya aku pernah posting tentang pengalamanku menggunakan lntra Uterine Device (IUD), juga pengalaman saat pemasangan dan pelepasan IUD, baik oleh dokter Spesialis Obstetry & Gynecology (dokter Sp.OG/ObGyn), maupun bidan.

Hari ini aku akan berbagi pengalaman pertamaku menjalani bongkar pasang IUD dengan bius total/anestesi umum.


Saking nyamannya menggunakan IUD, aku sampai lupa bahwa pada Maret 2019 adalah bertepatan dengan 10 tahun IUD tertanam di rahimku. 

Aku baru menyadarinya saat membuka berkas catatan kesehatanku.

Deg! Limit, dong!

Semestinya, IUD jenis ParaGard Copper-T seperti yang kupakai ini lebih aman dilepas setelah 8 tahun masa pemakaian, walaupun boleh dipakai sampai 10 tahun. 

Bagaimana jika IUD lengket di rahim? atau geser posisi? atau hilang, gitu? Wiii ngerii! Takut banget!

Kujadwalkan pada Maret 2019, bertepatan dengan saat menstruasi, aku berniat melepas IUD di bidan puskesmas atau di dokter ObGyn.

Rencananya, mau konsultasi dulu dengan bidan atau dokter, lalu membuat janji untuk hari pelepasan dan pemasangan kembali IUD, didampingi suami. 

Takutlah jika sendirian, mengingat sepuluh tahun lalu aku menjalani bongkar pasang lUD selama 1 jam, dan kakiku kram karena tegaaaang banget saat pelepasan dan pemasangan lUD di bidan, hanya karena aku tak diperiksa USG terlebih dulu, langsung diminta ngangkang, sekaligus melihat peralatan logam besar-besar, lalu miss V ku diobok-obok (lebay 🤔 ) . Mules, kontraksi. Hehhhh, nyerinya, sampai takut melangkahkah kaki.

Rabu, Maret 2019, aku datang ke puskesmas untuk konsultasi. Ternyata pada hari kedatanganku, bidan senior yang menjadi penanggung jawab KB sedang tak ada di tempat. Oleh asisten bidan, aku diberi surat rujukan ke rumah sakit untuk bertemu dan konsultasi dengan dokter ObGyn.

Hari itu juga aku segera membawa surat rujukan dari puskesmas ke RS. Aku tak mau menundanya di bulan depan. Kapan lagi jika tak bulan ini? Menundanya di bulan depan belum tentu lebih baik, karena IUD sudah limit batas waktu pemakaiannya. Bertemu dan konsultasi dengan dokter siapapun, tak masalah, asal itu dokter ObGyn.

Alhamdulillah, pada hari itu ada jadwal praktik dokter ObGyn. Karena aku berniat menggunakan fasilitas BPJS, maka kusiapkan berkas persyaratan pendaftaran sesuai ketentuan, yakni fotocopy KTP, KK, kartu BPJS, dan surat pengantar dari puskesmas ke RS rujukan.

Setelah mendaftar, aku menuju ruang tunggu dokter ObGyn untuk mendapat pelayanan pemeriksaan tekanan darah (tensi), lalu menunggu antrian. 

Tak berapa lama, namaku dipanggil. Bismillah, melangkah menuju meja konsultasi untuk bertemu dokter ObGyn pertama kalinya di kampung ini.

Setelah menyampaikan prolog, oleh dokter, aku diminta berbaring untuk menjalani pemeriksaan lUD yang berada di rahim dengan alat Ultra Sonografi (USG).

Beberapa menit berlalu, dokter mengatakan, "Posisi lUD bagus, masih berada di tempatnya."

"Alhamdulillah."

"Bersiap lepas IUD ya, Bu," kata dokter.

"Sekarang, Dok? Saya belum siap, Dok."

"Lho, lbu datang ke sini bukankah mau melepas lUD?"

"Takut, Dok. Saya sendirian datang ke sini. Saya mau pelepasan dan pemasangan lUD didampingi suami. Boleh, kan, Dok?" jawabku dengan muka tegang.

Dokter tertawa, lalu mempersilakanku duduk untuk konsultasi lebih lanjut. Sepertinya dokter memahami rasa takut dan tegangku. Dokter menyarankan bius total. Mungkin, agar aku, pasiennya gak teriak-teriak atau nangis atau protes, saat tindakan (pelepasan dan pemasangan lUD) nanti, yang bisa mengganggu konsentrasi dokter. Lagipula dokter mengatakan, sudah 10 tahun lUD tertanam di rahim, lebih baik pasien dibius agar tidak merasakan sakit/nyeri seandainya terjadi perlengketan lUD dengan dinding rahim.

Walaaah hemm, mendengar pernyataan dokter, seketika aku pusing. Sakit kepala, membayangkan nyerinya.
Kuberanikan diri untuk mengiyakan, "Baik, Dok. In syaa Allah, saya siap dibius total untuk pelepasan dan pemasangan kembali IUD. Bolehkan saya minta jadwal Jumat malam, Dok?"

Dokter mengizinkan. Aku diminta untuk puasa, stop makan dan minum, 6-8 jam sebelum dilakukan tindakan, agar aku tak mual atau mutah pasca operasi kecil nanti. Lambung yang penuh makanan dapat mengakibatkan mutah, sedangkan mutah pasca bius jika tak terkontrol dapat masuk paru-paru, yang dapat berakibat fatal.


Jumat malam kupilih karena besoknya, Sabtu-Minggu libur weekend, agar suami bisa menemaniku bermalam di RS dan tak mengganggu aktivitas kerjanya. Bius total ini membuatku mau tak mau harus dirawat inap satu malam.

Selepas shalat lsya, aku selesai menjalani observasi. Tes urin, pengambilan darah di lengan kiri (3 ml), dan pemasangan infus di punggung tangan kanan. Semua dilakukan di ruang observasi dan/persalinan, yakni sebuah ruang besar dengan 3 tempat tidur, 2 ranjang persalinan, dan inkubator bayi. Masing-masing hanya dibatasi tirai.

Aku dipersilakan menuju tempat persalinan. Dua perawat wanita mengarahkan, agar aku menata posisi berbaring setengah duduk, dan meletakkan dua kaki ke atas dudukan tinggi, seperti posisi siap bersalin.

Seorang dokter anestesi berada di posisi atas kepalaku, lalu memasang alat inhalasi di hidungku. 

Kupikir ini inhaler semacam alat pernafasan untuk mengalirkan oksigen. Ternyata, dari alat inhalasi ini obat bius berupa gas oksida nitrogen disalurkan, di samping oksigen. Gas oksida nitrogen ini bereaksi terhadap sel otak untuk mengurangi rasa sakit, dan diberikan dalam konsentrasi tertentu.

Sebelum alat inhalasi ini dipasang, dokter anestesi memastikan berat badanku, meskipun saat observasi tadi aku sudah didata perawat. Sepertinya ada korelasi antara berat badan pasien dengan konsentrasi gas yang akan diberikan. 

Aku mengira sedang menghirup oksigen, karena tak ada bau menyengat apapun.

Aku bahkan belum sempat melihat dokter ObGyn yang akan menanganiku, ataupun melihat alat-alat yang menakutkan semacam spekulum, tenakulum, gunting benang nilon, inserter, IUD, dan sebagainya yang semuanya nanti akan bekerja di bagian vitalku.

Aku hanya sempat berdoa kepada Allah, "Bismillahi tawakaltu 'alallaha la haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil 'adzim. Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'mannasir," dan berdzikir sebisa yang kumampu, hingga tak sampai 5 menit kemudian, aku pingsan.

Bius tota ini membuatku tak sadar, dan tak ingat apapun selama dokter ObGyn melakukan tindakan.

Prosedur pembiusan yang kulalui itu biasa disebut sebagai anestesi umum atau bius total. 

Bius total ini dapat melalui dua cara, yakni dengan menghirup gas (inhalasi), maupun dengan menyuntikkan obat ke dalam pembuluh darah (intravena). 

Bius intravena akan menghilang dengan cepat dari aliran darah setelah operasi selesai, sedangkan untuk inhalasi memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang.

Aku mendapatkan bius dengan cara menghirup gas (inhalasi). Pantas saja pingsanku sangat lama. 

Pukul 20.00 WIB aku dibius, baru bisa setengah sadar pukul 24.00 WIB, tapi belum bisa menggerakkan kepala, mata belum bisa melek maksimal karena pusing sekali seperti vertigo jika dipaksa melek. 

Aku hanya bisa menggerakkan bibir, berdzikir, dan separuh duniaku seolah berada di dunia lain. Kata suami, ia mendengar dzikirku dalam keadaan setengah sadarku.

Pukul 01.00 WIB, aku mendengar suara suami bicara, tapi aku belum bisa diajak berdialog. Aku merasakan sentuhan tangannya yang mengusap-usap lembut dahi dan ubun-ubunku. Aku juga merasakan beberapa kali tangan kiriku terkulai lalu ia meraihnya, dan memposisikannya kembali di samping badanku. 

Dari mataku keluar air mata. Aku bersyukur, sangat bersyukur, atas semua limpahan rahmat dan karunia-Nya. Allah menyelamatkanku, dan memudahkan dokter melakukan tindakan penting ini.

Sabtu dini hari itu, masih setengah sadar dan sempoyongan, aku dipindah ke ruang rawat inap, menggunakan kursi roda. Pandangan mataku masih samar-samar. Aku merasa pusing luar biasa.

Sabtu Subuh, aku berangsur memiliki kesadaran penuh. 

Ma sya Allah, tabarakallahu.
Alhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Pasca tindakan rupanya aku mengalami sedikit pendarahan. Kulihat dari banyaknya volume darah di pembalut yang dipasangkan oleh perawat. Mungkin itu hal yang wajar, tak perlu kucemaskan. 

Saat sadar sepenuhnya, aku merasa lebih baik, sehat, tak mengalami mual atau mutah, atau kram perut, atau sakit di otot-otot vagina maupun rahim. Seolah tak pernah terjadi apa-apa di area sana.

Meski demikian, aku harus mengingatkan diri sendiri untuk tidak lagi mengangkat beban berat, mengingat IUD telah terpasang di rahimku. Ini untuk menjaganya agar tak geser/pindah posisi.

Sabtu pagi aku mendapat makanan/sarapan, dan obat yang harus kuminum. Obatnya terdiri dari antibiotik, pereda nyeri, dan vitamin B kompleks. Yang kuminum pagi itu adalah Cyprofloxacin (antibiotik 500 mg),
Fargetic (mefenamic acid 500 mg), dan
Beneuron (vitamin B1, B6, B12).

Sabtu siang selepas makan siang, aku diperbolehkan pulang. Suami mengurus administrasi ke kasir, mendapatkan obat, serta mendapat surat pengantar untuk kunjungan berikutnya (kontrol).

Obat yang kubawa pulang adalah Erlamoxy (amoxicillin trihydrate 500 mg),
Bledstop (methylergometrin maleate 125 mcg), dan Fargetic (mefenamic acid 500 mg).

Seminggu kemudian aku diminta datang kembali untuk kontrol posisi IUD (USG), dengan jadwal praktik dokter sesuai ketentuan RS. 

Kulihat nama dokter ObGynnya berbeda dengan dokter yang menanganiku semalam. Ya sudah, tak masalah. In syaa Allah semua baik untukku.

Biayanya? Gratis. Mulai USG sebelum dan sesudah bongkar pasang lUD, pengambilan darah dan pemeriksaan laboratorium, infus, anestesi umum, pelepasan dan pemasangan IUD baru, alat kontrasepsi (lUD ParaGard Copper-T), obat, serta kontrol dokter, semuanya ditanggung BPJS.

Sabtu siang, pulang digandeng suami, yang menenteng tas istri dan tas persalinan.

Minggu pagi, diajak suami untuk relaksasi, pijat refleksi dan seluruh badan, agar otot-otot istrinya lemes, gak tegang lagi.

Bongkar pasang lUD itu bagi para wanita pada umumnya adalah hal wajar, normal, tak perlu berlebihan takut sepertiku. 

Akulah, bandel, 10 tahun tak merasa pakai lUD. Giliran saatnya dilepas, stresnya sampai 2 hari. Pusing, hingga terpaksa minum obat sakit kepala, membayangkan sakitnya saat IUD dibongkar pasang.

Lebih dari itu, aku sangat bersyukur kepada Allah.

Nikmat dari tuhanmu mana lagi yang kau dustakan?
Fabiayyi 'ala-i Rabbikuma tukadzdziban?

Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmushshalihat.

Dalam setiap perkara, pasti ada hal yang dapat diambil pelajarannya.

Terima kasih pp, yang selama ini selalu sigap dan menjadi suami siaga, siap antar jaga, plus-plus.
Lv u so much, Beib. ❤❤❤
Jazakallahu khair. 
Barakallahu fik.


Untuk referensi pengetahuan, kusertakan rangkuman tentang prosedur pelepasan dan/pemasangan lUD.

Intra Uterine Device (IUD) merupakan alat kontrasepsi yang ditanam di dalam rahim, yang memiliki efektivitas jangka panjang selama 3 sampai 10 tahun.

IUD harus dilepas saat pemakaiannya telah mencapai batas akhir usia pakainya, atau alasan lainnya seperti masalah medis tertentu, atau saat pasien menginginkan hamil lagi.

Akhir masa pakai IUD berbeda-beda, tergantung dari jenis IUD yang digunakan. 

Untuk jenis IUD Mirena, pasien dapat menggunakannya sampai 5 tahun. 

Untuk jenis IUD Skyla, masa pakainya lebih singkat, yaitu 3 tahun. 

Untuk jenis IUD ParaGard dapat digunakan sampai 10 tahun.

Jika IUD di rahim sudah habis usia pakainya, dapat digantikan dengan alat jenis yang sama, dalam satu kunjungan saja. 

Jadi, melepas lUD (lama) dan memasang kembali lUD (baru) dalam sekali tindakan.

Pelepasan lUD dapat dilakukan dengan cepat, hanya beberapa menit, dengan sedikit rasa sakit dan tidak nyaman.

Pemasangan IUD lebih menyakitkan dan lebih tidak nyaman dibandingkan dengan saat pelepasannya.

Dokter biasanya membolehkan konsumsi obat pengurang rasa sakit ringan untuk membantu pasien mengatasi rasa tidak nyaman yang muncul, bahkan sebelum tindakan dilakukan.

▪Pelepasan lUD

Tindakan akan dimulai dengan pasien yang diminta untuk berbaring di tempat persalinan dengan kaki mengangkang.

Untuk memudahkan akses ke rahim, dokter memasukkan spekulum, yakni alat medis menyerupai paruh bebek, ke vagina. 

Pada tahap ini rasa tidak nyaman dimulai dengan sedikit kontraksi di rahim.

Setelah speculum berada di tempatnya, dokter akan mencari benang yang terkait pada IUD tersebut. Ini dilakukan dengan alat yang dimasukkan melalui leher rahim. 

Setelah benangnya ditemukan, dokter akan menarik benang tersebut secara perlahan sampai IUD berhasil ditarik keluar leher rahim dan keluar vagina. Speculum kemudian akan diangkat.

Pengangkatan IUD dapat dilakukan kapan saja, dan akan lebih nyaman pada saat menstruasi karena leher rahim sedang lemas dan membuka.

Ada beberapa kasus khusus yang terjadi, yakni dokter kesulitan menemukan benang IUD karena IUD berpindah posisi ke saluran leher rahim, atau terangkat ke atas rahim, atau benangnya terpotong terlalu pendek saat proses pemasangan sebelumnya.

Jika kasus tersebut terjadi, dokter akan menggunakan alat sonogram untuk memeriksa posisi IUD di dalam rahim, atau mencari lUD yang terlepas tanpa sepengetahuan pasien. 

Jika IUD masih ada, dokter akan melepaskannya menggunakan sikat cytobrush atau kail IUD, atau menggunakan forcep atau jepitan. 

Namun, jika IUD masih tidak bisa diraih dengan forcep, dokter akan menggunakan sonogram sebagai alat bantu. Dalam kasus seperti ini, ada risiko kecil terjadinya luka pada rahim.

Ada juga kasus IUD menempel di dalam rahim, sehingga diperlukan tindakan histerectomy untuk mengangkat IUD.

Komplikasi selama pengangkatan IUD dapat menyebabkan rasa tidak nyaman yang lebih tinggi bagi pasien. Dalam kasus seperti ini, anestesi akan diberikan.

▪ Pemasangan lUD

Pada saat pemasangan IUD, vagina akan dibuka lebar dengan alat medis bernama speculum yang menyerupai paruh bebek. 

Dilanjutkan membersihkan vagina menggunakan larutan antiseptik, lalu menyuntikkan anestesi lokal ke leher rahim, serta memasukkan alat steril yang disebut uterine sound atau aspirator endometrium untuk mengukur kedalaman rahim.
Baru kemudian IUD yang telah dibengkokkan bagian lengannya, dimasukkan ke dalam rahim melalui vagina. 

Saat sudah di dalam rahim, bagian lengan IUD yang semula mengatup kemudian terbentang sehingga membentuk huruf T.


Hal yang biasa ditanyakan sehubungan dengan lUD :

▪ Apakah dapat lUD lepas sendiri dari rahim?

IUD dapat lepas sendiri, namun sangat jarang terjadi. 

Kemungkinan terbesar adalah karena prosedur pemasangan yang kurang tepat, dan kondisi pasien yang tegang saat dilakukan prosedur pemasangan, sehingga posisi IUD tidak pada posisi yang normal.

Jika lUD lepas, pengguna sebaiknya melakukan pemeriksaan dan pemasangan kembali ke dokter ObGyn untuk memastikan lUD telah ditempatkan dengan benar, melalui pemeriksaan USG.

▪ Apakah lUD dapat bergeser posisi?

Dalam beberapa kasus, IUD mungkin tidak langsung lepas hingga keluar dari rahim, namun hanya bergeser posisi, atau berpindah dari tempat diletakkannya semula.

Posisi IUD yang tidak tepat akan mengurangi keefektifannya dalam mencegah kehamilan, sehingga pengguna bisa saja hamil meskipun ia menggunakan IUD.

lUD yang berpindah posisi mengakibatkan pengguna mengalami berbagai keadaan tak normal, seperti rasa nyeri di perut bagian bawah. 

Jika hal ini terjadi, sebaiknya segera periksa ke dokter ObGyn untuk mengembalikan posisi IUD di tempat yang semestinya dalam rahim.

▪ Bolehkah melepas IUD sebelum masa berlakunya berakhir?

IUD dapat dilepas kapan saja. Proses pelepasan IUD sebaiknya dilakukan oleh dokter ObGyn atau bidan profesional.

▪ Apa yang terjadi pasca pelepasan lUD dari rahim?
Setelah IUD dikeluarkan dari leher rahim, beberapa pengguna mengalami sedikit kram, tapi hanya sebentar, atau mengalami pendarahan vagina ringan selama sehari. 

Umumnya, satu jam pasca pelepasan, keadaan normal kembali, dan pengguna dapat beraktivitas seperti biasa.

▪ Kapan kontrol lUD?

IUD yang baru saja dipasang, sebaiknya dikontrol kembali 1 minggu setelah pemasangan, untuk memastikan lUD telah stabil berada pada posisi yang tepat (masa penyesuaian).

Kontrol selanjutnya, 6 bulan kemudian. Jika tak ada keluhan, tak perlu berulangkali kontrol. 

Jika ada keluhan, lebih baik segera kontrol lUD ke dokter ObGyn melalui pemeriksaan USG.

IUD harus dilepas jika menginginkan kehamilan.

IUD harus diganti dengan yang baru jika telah mendekati masa berlakunya habis. Jangan membiarkannya berada di rahim melebihi batas waktu yang ditentukan.

▪Apa kelebihan IUD?

Selain efektif mencegah kehamilan, lUD dapat dilepas kapan saja, dan tidak mempengaruhi kesuburan, artinya wanita dapat segera hamil;

Meminimalisir terjadinya risiko terkena kanker serviks dan kanker endometrium, jika penggunaannya tepat dan tidak dibiarkan kadaluwarsa di rahim;

IUD ada dua jenis, yakni lUD non hormonal dan lUD hormonal.

IUD non hormonal tidak mengakibatkan kegemukan seperti penggunaan pil KB hormonal yang mengandung hormon;

sedangkan IUD hormonal dapat mengurangi nyeri, kram, perdarahan selama menstruasi, dan menurunkan risiko kehamilan ektopik.

▪ Apa risiko/efek samping pemakaian IUD?

IUD non hormonal yang dililit tembaga dapat mengakibatkan perdarahan menstruasi (darah haud lebih banyak), ataupun kram;

IUD hormonal dapat mengakibatkan sakit kepala, tumbuhnya jerawat, pegal di bagian pinggang, dan nyeri di payudara;

Beberapa pengguna mungkin mengalami flek pada minggu pertama pasca pemasangan.

▪ Apakah lUD dapat digunakan setiap wanita?

Tidak semua wanita dapat menggunakan IUD, terutama wanita perokok, atau memiliki penyakit radang panggul, kelainan pada rahim, kanker serviks, kanker payudara, liver, dan penyakit menular seksual.

P.S. : 

Baca tulisanku sebelumnya agar tidak apriori terhadap lUD,
#lUDpart1 : lUD, I Like lt!

           with love,
💕 Sasa Suratman 💕
          17.03.2019

Komentar

  1. Saya jg pakai iud setelah SC, tp saya kepikiran pas ngelepasiinnya sakitnya gmna soalnya liat alatnya aja udah ngilu, hehe. Padahal sy batu 4 bln make, tp udh kepikiran pas ngelepasinnya rasa sakitnya gmn. Yng saya mau tanya... Bun, kenapa harus bius total, knp ga anastesi lokal saja ? Apa memang prosedurnya gtu?

    BalasHapus
  2. Suaminya baik bgt ya..... Sampe diajakin pijt refleksi juga

    BalasHapus
  3. MasyaAllah.. akhirnya nemu juga review ttg lepas pasang IUD. Makasih banyak mbak.. tulisan mbak, sangat membantu untuk kakak saya yang juga lagi panik. Katanya, cuma lepas IUD aja tapi berasa operasi gede aja. Sampai gak boleh makan hampir 15 jam

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah.. saya ketemu Blog Bunda ini disaat yg tepat. Serasa doa Saya selama ini dikabulkan Allah SWT dengan membaca pengalaman Bunda. Karena dari sini Saya yg sudah 2 kali mencoba melepas IUD secara sadar di dokter kandungan dan Bidan tidak berhasil. Saya tidak tau kalau lepas IUD boleh dibius. Karena dokter Kandungan tempat saya periksa tidak menjelaskan ada jalan ini. Bahkan Saya sempat dianjurkan untuk dipakaikan alat laminaria. Tapi Saya tidak setuju. Saya sampai trauma karena kesakitan. Alhamdulillah, tgl 23 desember 2020 lalu dengan ditemani Suami, IUD saya sudah bisa dilepaskan. Saya ke praktek dr. Kandungan dan menceritakan kronologinya dan bilang kalo saya minta dibius dulu. Alhamdulillah dokter bersedia, walaupun awalnya membujuk Saya untuk tidak usah dibius. Alhamdulillah proses berjalan lancar dan cepat. Malam itu juga tanpa puasa saya lgs disuntik bius di tangan. Dan beberapa detik kemudian seperti mengalami 1/2 sadar, Alhamdulillah udah selesai pelepasan IUD. Tanpa merasakan sakit sama sekali. Dan Saya bisa langsung pulang ke rumah saat itu juga. Berjalan pulang dengan kondisi 1/2 sadar. 😊. Alhamdulillah doa Saya dikabulkan Allah. Bisa lepas IUD tanpa rasa sakit.. terima kasih Bunda, sudah berbagi pengalaman. 🙏😊

    BalasHapus
  5. Boleh tau nama dokter dan rs nya bun?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Be a Good Muslim Doctor-Tes Masuk FK UII

• seri Menjemput lmpian • ❤ Be a Good Muslim Doctor ❤ Pengalaman mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam lndonesia (UII) melalui jalur Computer Based Test (CBT), lolos Tes Tahap l dan ll, dan dinyatakan Diterima sebagai mahasiswa Pendidikan Kedokteran. • "Dik, jika Allah izinkan kamu diterima di PKN STAN dan Fakultas Kedokteran, mana yang kamu pilih?" "Insya Allah, kedokteran," adik menjawab mantap. "Meskipun di universitas swasta?" "Jika itu adalah FK UII, maka insya Allah, ya." Adik konsisten dengan pilihannya, ia lebih memilih FK UII, meski sebelumnya telah dinyatakan diterima di Fakultas Farmasi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN). Ia tak melakukan registrasi lebih lanjut di PTN tersebut, dan melepaskannya. Adik juga konsisten, lebih memilih FK UII, meski dinyatakan lulus PKN STAN tahap l (pengumuman hari ini, Rabu, 31 Juli 2019, peringkat 209 dari 8910 pese...

Penempatan Alumni PKN STAN 2018

• seri PKN STAN ❤ Penempatan Alumni PKN STAN 2018 ❤ Jakarta, 4 Oktober 2018 Ada yang baru dan mengejutkan pada penempatan 5.485 alumni Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN 2018. Terdapat 4.885 lulusan PKN STAN yang ditempatkan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan 600 lulusan ditempatkan di Non Kementerian Keuangan. • Kemarin kakak menelepon, "Alhamdulillah, aku ditempatkan di Kementerian Keuangan-Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Ma!" serunya. Kujawab, "Masya Allah, tabarakallah. Alhamdulillah wa syukrillah.  Loh, bukankah memang demikian? Kakak kan kuliah di Program Diploma (Prodip) lll Pajak, jadi wajar kan penempatan kerjanya di Kemenkeu-DJP? Adakah sesuatu yang tak lazim?" "Tidak semua di DJP, Ma. Lulusan ProDip Pajak ada yang penempatan kerjanya di DJP, SetJen, ada pula di Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Teman-temanku yang jurusan Akuntansi bahkan penempatan kerjanya tersebar ke Kementerian/Lembaga Negara (K/L) lainnya,...