Langsung ke konten utama

TOA-Pengeras Suara Eksternal Masjid

• seri lslam

TOA

Pengeras suara eksternal, TOA.

Dari zaman aku usia balita, lalu beranjak ke usia 5 tahunan, di era 1978-an, telingaku familiar mendengar seruan adzan, maupun lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an menjelang sholat fardhu, dari pengeras suara eksternal (TOA) masjid dan/musholla di sekitarku, di kampung Baledono, Purworejo, Jawa Tengah.

Rumahku tak jauh dari musholla dan masjid. Begitu TOA menyala, seruan adzan yang berkumandang seperti berada tepat di atas genteng rumah kami. Keras? Iya. Suara muadzinnya (bergantian, waktu itu) belum tentu syahdu, tapi kami tak ribut memprotesnya. Biasa saja, dinikmati saja.

Agak jauh dari rumah, ada masjid milik pondok pesantren. Masjid ini lebih maju dalam mengoptimalkan TOA. Mulai fajar pertama (waktu tahajud menjelang fajar shiddiq/adzan subuh), terdengar adzan, dilanjutkan sholawat (suara Syaikh Abdul Basit, yang sangat merdu, menyejukkan jiwa. Suara rekaman syaikh dari cassete, tentunya). Tak berapa lama, berkumandang adzan Subuh.

Tak jarang di siang hari kudengar suara qari'/qari'ah, juga dari cassete. Merdunya, indahnya, sampai-sampai masa balitaku sambil bermain boneka, kulantunkan 'mengaji' (dibandingkan menyanyi) mengikuti suara qari'/qari'ah, meski kala itu aku belum fasih melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an.

Kadang kudengar suara nasyidaria (cassete) dari masjid itu, hingga aku yang balita itu hapal di luar kepala hampir semua liriknya.

Nasyidaria yang sama, kadang kudengar dari musholla dekat rumahku di Lampung kini (2018). Sekarang sih, aku merasa tak nyaman, jika mendengar lagu-lagu (mengatasnamakan lslami) baik dari cassete, maupun yang dinyanyikan secara 'live' oleh ibu-ibu di masjid dan/musholla, apalagi disiarkan dengan volume keras melalui TOA.

Zaman balitaku, nenekku (simbah putri), rajin sekali sholat fardhu 5 waktu ke musholla, dan rajin mengikuti pengajian sekali sepekan.
Kakekku, simbah kakung, sudah meninggal saat aku berusia 3 tahun. Tak banyak yang kuingat dari kakekku, tapi aku mengingat masa kecilku bersama simbah putriku.

Masa itu, era 1978-1980-an, saat adzan, suara dari masjid dan/musholla bersahut-sahutan, terdengar melalui TOA.

Pengajian yang simbah ikuti di waktu ba'da ashar (sekali sepekan) juga disiarkan melalui TOA. Aku bisa mendengarnya, kan kubilang, seolah corong speaker berada tepat di atas genteng rumah kami, bahkan, suara Pak Kyai (keturunan Arab) sampai kuhafal betul, jika bertanya pada jamaah pengajian, "Nggih nopo mboten, lbu-ibu?" (Iya apa tidak, ibu-ibu?), lalu kudengar suara ibu-ibu (termasuk simbah putriku tersayang😄, kan, ada di situ) serempak menjawab, "Nggiiiiih." (Ya) "Nopone sing nggih?" (Apanya yang iya?)

Hahahaa, aku kecil yang bandel dan sangat usil, tak jarang menggunakan kalimat itu untuk menggoda, "Nggih nopo mboten, Ibu-ibu?"

Yang paling kusukai adalah mendengar suara orang mengaji/tadarrus (dari cassete) di sore hari, sangat menyentuh jiwa. Tadarrus yang disiarkan melalui TOA menjadi pengingatku untuk segera pulang ke rumah (dari main di rumah tetangga, atau kelayaban ke mana-mana).

Yang terekam dalam benakku, simbah putriku hampir setiap sore, mencariku dan kakak-kakak yang lebih sering bandel main jauh-jauh, sepulang sekolah, tak kenal waktu, sampai pinggir kali/Sungai Bogowonto, sekedar untuk unjuk gaya nyanyi-nyanyi di atas batuan kali. Halah, masa itu gaya kami sudah ikut-ikutan artis Aneka Ria Safari. Yok yok o. 😄 Kebiasaan menyanyi dilirik guruku. Oleh guru, aku diminta mengikuti lomba menyanyi (solo song) antarsekolah sejak kelas 4 Sekolah Dasar, berlanjut sampai kuliah. Maslu (masa lalu), sekarang gak manggung lagi.

Waktu kecil aku belum mengenal shirah nabawiyah, kecuali sedikit saja melalui pelajaran agama lslam di sekolah, padahal buku-buku pengetahuan agama termasuk shirah, bertumpuk di rak buku milik bapakku. Gak ada yang bacain, sih, kalau anak kecil kan lebih suka dibacain daripada membaca sendiri (hahaa...alasan, dasar malas baca), makanya belum paham kalau idolaku yang sesungguhnya (kini) adalah Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para nabi dan/rasul, para sahabat, para tabiin, para ghazi...aaah idolaku banyak sekarang, bukan lagi artis dan penyanyi layar kaca seperti zaman kecilku.

Oya, kebiasaan main di sungai, tentu saja tak diperbolehkan lagi oleh bapak ibu dan simbahku, setelah mereka mengetahuinya, tapi kami bandelnya minta ampun. Untuk urusan main, kami gak nurut, padahal Sungai Bogowonto yang sungai alami itu seringkali mengalami banjir dari arah gunung, dan sangat membahayakan.😣

Simbah dari jauh sudah terlihat, memegang gagang sapu lidi, lalu 'mengopyak-opyak' kami untuk segera pulang, mandi, sholat Ashar, lalu bersiap mengaji Al-Qur'an bersama Bapak. Bapakku yang mengajari kami mengaji Al-Qur'an, bergiliran satu persatu keempat anak perempuannya. Saat itu belum ada Taman Pendidikan Al-Qur'an seperti sekarang, kecuali dipondokpesantrenkan.

Simbah, pasti bukan sedang sedang bercanda dengan membawa sapu, dan kami sangat takuuut melihatnya, lariii berhamburan, pulang.

Simbah, juga takkan tega memukul kami. Belakangan saat aku besar, kutahu, simbah, membawa sapu karena beliau selesai menyapu halaman rumah, lalu mencari cucu-cucunya tersayang yang hobi kelayaban, mengingatkan kami untuk pulang, dan menunaikan sholat.

Ya Allah, simbah putriku rahimahallah yang sangat peduli, sangat sayang, dan shalihah, semoga Allah merahmati beliau di dalam alam barzahnya, dan kelak kami dipertemukan kembali dalam surga-Nya bersama hamba-hamba-Nya yang shalih dan shalihah. Aamiin aamiin aamiin yaa Robbal 'alamiin.

Menjelang adzan Maghrib, aku dan kakak-kakak menuju mushola, lalu mendengarkan adzan dikumandangkan di mushola. Kalau maghrib, yang melantunkan adzan adalah tetanggaku yang berusia remaja. Suaranya, merdu, seperti yang ada di cassete itu.

Jeda waktu antara adzan dan iqamat, kami, anak-anak kecil, baik laki- laki maupun perempuan, dipandu beliau melantunkan pujian kepada Allah.

Mengingat masa kecil itu lagi, kala menyaksikan tayangan Syaikh Misyari Rasyid al-Afasy melantunkan pujian kepada Allah dikelilingi anak-anak kecil para penghafal Al-Qur'an al-Karim. Masyaallah, indah! Menggetarkan qalbu.

"Rahman, yaa Rahman ..." begitu suara Syaikh Misyari Rasyid al-Afasy dan para hafidz/hafidzah cilik.

...tapi itu dulu, semasa kecilku.

Saat aku menjadi emak-emak, dan mulai mengenal sunnah, merasa tak nyaman jika di musholla kami dengan sengaja memutar lagu (cassete) maupun memperdengarkan nasyidaria (ibu-ibu anggota pengajian, tapi aku tak ikut nasyidaria) disiarkan lewat TOA dengan volume keras. Rasanya kok tidak pas, ya, bukan pada tempatnya.

Mungkin aku berlebihan, tapi memang yang kurasakan adalah rasa tak nyaman, mendengar lagu nasyidaria berbahasa lndonesia dengan lirik seperti, "Suasana di kota santri, ..." itu dilantunkan keras-keras melalui pengeras suara eksternal masjid dan/musholla. Semestinya masjid dan/musholla bersih dari nyanyian dan bunyi alat-alat musik modern.

Sehubungan dengan adzan dan TOA yang kini ramai diperbincangkan, kubaca ulang aturan Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara (lihat foto dari sumber : Dirjen Bimas lslam 1978).

Aturan yang telah dipublikasikan di lndonesia sejak 40 tahun lalu itu isinya tepat. Jika kini (2018) aturan tersebut dipublikasikan kembali, itu bertujuan agar orang di era kini memahami aturan tersebut.

Yang aku heran, apa yang orang-orang ributkan? Kok bisa-bisanya beritanya dipelintir sebagai 'pemerintah melarang adzan menggunakan pengeras suara eksternal'? dan semacamnya, berita bernada minor terhadap pemerintah.

Penggunaan pengeras suara di masjid dan/musholla di lndonesia itu, kan memang telah ada aturannya, yang dibuat sejak 40 tahun lalu (1978). Lhah, terus mengapa kagetnya sekarang?

Cobalah mencari tahu terlebih dahulu duduk persoalannya, bukan asal 'share it' tanpa mencari tahu kebenaran beritanya, agar tidak terseret dalam arus fitnah berjamaah dan dosa jariyah.

Pahami, bahwa Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, pada Agustus 2018, itu hanya mempublikasikan kembali aturan lama tentang tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan musholla.

Aturan lama yang dipublikasikan kembali tersebut mencakup tuntunan penggunaan pengeras suara saat pelaksanaan adzan pada setiap waktu sholat, pembacaan ayat suci Al-Qur'an menjelang sholat, dan pengajian pada upacara hari besar Islam.

Dasar hukumnya adalah Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musholla.

Nah, coba cermati, aturan itu sudah ada sejak tahun 1978. Isi peraturannyapun, adil.

Bukan hanya pemerintah lndonesia yang mengeluarkan aturan tentang penggunaan pengeras suara di masjid, tapi juga di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya muslim.

Mari kita tengok negara Saudi Arabia, yang di sana terdapat Kabah sebagai kiblat umat lslam dunia.

Sebagaimana dilansir oleh Arab News, pada Kamis (23/8/2018), pemerintah Kerajaan Saudi Arabia melalui Kementerian Urusan Agama lslam, memerintahkan masjid-masjid untuk mematikan pengeras suara eksternal (TOA), dan hanya menggunakan speaker internal.

Di Saudi Arabia, speaker eksternal masjid hanya boleh digunakan untuk adzan/panggilan untuk sholat lima waktu, adzan sholat Jumat, saat Idul Fitri, dan Idul Adha, juga saat doa meminta hujan. Perintah mematikan speaker eksternal masjid tersebut dirilis oleh Kementerian Urusan Agama Islam di Saudi Arabia sejak tahun 2015.

Para imam masjid di Saudi Arabia juga dilarang memasang alat Echo dan alat Transmutation Cutting, setelah muncul banyak keluhan dari masjid-masjid sekitar soal suara yang terlalu keras dari speaker eksternal sejumlah masjid.

Mengapa dilarang? Karena, suara yang terlalu keras dari berbagai masjid berbeda pada saat bersamaan, dilaporkan justru menimbulkan gangguan.

Kementerian Urusan Agama Islam Saudi Arabia memerintahkan sejumlah pekerja lapangan untuk melakukan kunjungan rutin ke masjid-masjid setempat untuk memastikan para imam dan penceramah mematuhi aturan baru tersebut. Aturan itu dirilis otoritas Saudi Arabia saat Ramadhan tahun 2015.

Kami merasakan kenyamanan beribadah sehubungan dengan aturan penggunaan speaker eksternal, selama berada di Madinah dan Makkah, Saudi Arabia. TOA dipergunakan semestinya.

Saat berada di salah satu hotel di Makkah, yakni Swissotel Al-Maqam Hotel, Makkah, Saudi Arabia, pada Syawal 1439 Hijriyah (Juli 2018), yang towernya berada di kawasan Al-Abraj Al-Bait Complex, tepat di depan Masjidil Haram, hotel ini menggunakan speaker yang tersambung dengan TOA Masjidil Haram.

Setiap memasuki waktu sholat fardhu, terdengar adzan melalui speaker (yang tersambung dengan TOA) di masing-masing kamar dengan volume suara normal (tidak terlalu keras).

Hanya suara adzan yang diperdengarkan melalui TOA, sedangkan murrotal Al-Qur'an tidak disiarkan melalui TOA, tapi dapat didengarkan secara live 24 jam melalui saluran televisi Saudi Arabia (live Masjidil Haram, Makkah). Ibadah jamaah menjadi khusyu' karena tidak terganggu dengan suara-suara (selain adzan) yang bersahut-sahutan dari masjid-masjid kecil di sekitar pemukiman.

Jika penggunaan TOA di Saudi Arabia ditertibkan, dipatuhi, dan diawasi, mengapa penertiban penggunaan TOA di lndonesia diributkan?

Pemerintah lndonesia melalui Kemenag RI itu tidak keliru dalam menerapkan aturan tentang TOA. Aturannya benar, tapi pemahaman (orang awam) terhadapnya yang keliru, sehingga ribut lagi, ribut lagi. Nah.

           with love,
💕 Sasa Suratman 💕
          31.08.2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bongkar Pasang IUD dengan Bius Total/Anestesi-IUDPart2

• seri lUD ❤ Bongkar Pasang IUD dengan Bius Total/Anestesi ❤ #IUDpart2 Sebelumnya aku pernah posting tentang pengalamanku menggunakan lntra Uterine Device (IUD), juga pengalaman saat pemasangan dan pelepasan IUD, baik oleh dokter Spesialis Obstetry & Gynecology (dokter Sp.OG/ObGyn), maupun bidan. Hari ini aku akan berbagi pengalaman pertamaku menjalani bongkar pasang IUD dengan bius total/anestesi umum. • Saking nyamannya menggunakan IUD, aku sampai lupa bahwa pada Maret 2019 adalah bertepatan dengan 10 tahun IUD tertanam di rahimku.  Aku baru menyadarinya saat membuka berkas catatan kesehatanku. Deg! Limit, dong! Semestinya, IUD jenis ParaGard Copper-T seperti yang kupakai ini lebih aman dilepas setelah 8 tahun masa pemakaian, walaupun boleh dipakai sampai 10 tahun.  Bagaimana jika IUD lengket di rahim? atau geser posisi? atau hilang, gitu? Wiii ngerii! Takut banget! Kujadwalkan pada Maret 2019, bertepatan dengan saat me...

Be a Good Muslim Doctor-Tes Masuk FK UII

• seri Menjemput lmpian • ❤ Be a Good Muslim Doctor ❤ Pengalaman mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam lndonesia (UII) melalui jalur Computer Based Test (CBT), lolos Tes Tahap l dan ll, dan dinyatakan Diterima sebagai mahasiswa Pendidikan Kedokteran. • "Dik, jika Allah izinkan kamu diterima di PKN STAN dan Fakultas Kedokteran, mana yang kamu pilih?" "Insya Allah, kedokteran," adik menjawab mantap. "Meskipun di universitas swasta?" "Jika itu adalah FK UII, maka insya Allah, ya." Adik konsisten dengan pilihannya, ia lebih memilih FK UII, meski sebelumnya telah dinyatakan diterima di Fakultas Farmasi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN). Ia tak melakukan registrasi lebih lanjut di PTN tersebut, dan melepaskannya. Adik juga konsisten, lebih memilih FK UII, meski dinyatakan lulus PKN STAN tahap l (pengumuman hari ini, Rabu, 31 Juli 2019, peringkat 209 dari 8910 pese...

Penempatan Alumni PKN STAN 2018

• seri PKN STAN ❤ Penempatan Alumni PKN STAN 2018 ❤ Jakarta, 4 Oktober 2018 Ada yang baru dan mengejutkan pada penempatan 5.485 alumni Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN 2018. Terdapat 4.885 lulusan PKN STAN yang ditempatkan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan 600 lulusan ditempatkan di Non Kementerian Keuangan. • Kemarin kakak menelepon, "Alhamdulillah, aku ditempatkan di Kementerian Keuangan-Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Ma!" serunya. Kujawab, "Masya Allah, tabarakallah. Alhamdulillah wa syukrillah.  Loh, bukankah memang demikian? Kakak kan kuliah di Program Diploma (Prodip) lll Pajak, jadi wajar kan penempatan kerjanya di Kemenkeu-DJP? Adakah sesuatu yang tak lazim?" "Tidak semua di DJP, Ma. Lulusan ProDip Pajak ada yang penempatan kerjanya di DJP, SetJen, ada pula di Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Teman-temanku yang jurusan Akuntansi bahkan penempatan kerjanya tersebar ke Kementerian/Lembaga Negara (K/L) lainnya,...